
polemik Gurindam 12 kembali menghangat setelah Pemprov Kepulauan Riau membuka opsi kerja sama pengelolaan sebagian aset di kawasan tepi laut Tanjungpinang. Pemkot menyatakan belum dilibatkan penuh dan meminta batas area, tenor, serta kewajiban pengelola dipaparkan rinci. Di tengah silang pendapat itu, warga menuntut jaminan akses ruang terbuka publik tidak dikurangi, sementara pelaku usaha lokal berharap kejelasan zonasi agar kegiatan ekonomi tetap hidup tanpa mengganggu fungsi rekreasi keluarga.
Dalam konteks tata kelola, transparansi dokumen menjadi kunci. Pemerintah daerah diminta menampilkan peta batas lahan, skema bagi hasil, serta standar pelayanan minimal agar keputusan tidak multitafsir. Dialog terbuka dengan komunitas, pelaku UMKM, dan DPRD diperlukan untuk menyatukan data serta meredam ketegangan yang menyelimuti polemik Taman Gurindam 12.
Kronologi dan posisi para pihak
Proses bermula dari pengumuman rencana kerja sama pengelolaan sebagian aset milik provinsi di area Gurindam 12. Paket yang ditawarkan mencakup ruang usaha dan fasilitas pendukung, sementara ruang publik disebut tetap ada. Pemkot mengirimkan respons meminta pelibatan sejak awal, termasuk kajian dampak lalu lintas, drainase, dan pengamanan acara komunitas. Sejumlah tokoh masyarakat mengusulkan uji publik agar publik mengetahui dengan pasti batas area komersial dan area bebas.
Seiring berjalannya waktu, polemik Gurindam 12 meluas ke ranah kepercayaan: apakah kontrak nanti mampu menjaga fungsi sosial kawasan. Warga menekankan perlunya klausul tegas mengenai jam operasional, tarif parkir, dan kuota kegiatan komunitas. Pemprov menyebut tujuan utama adalah penataan dan peningkatan kualitas pengelolaan tanpa menutup akses warga. Pengamat kebijakan menilai, rancangan kerja sama yang baik harus memuat target layanan, mekanisme pengaduan, serta sanksi bila kewajiban tidak dipenuhi—agar kepastian hukum terjaga dan investasi tetap menarik.
Baca juga : Tender Gurindam 12: Skema KSP 30 Tahun
Agar manfaat terasa merata, kontrak perlu mengunci komitmen terhadap UMKM lokal: kuota stan, plafon sewa, hingga prioritas acara budaya setempat. Pemerintah juga disarankan menerapkan indikator layanan—kebersihan, keamanan, pencahayaan, serta perawatan ruang hijau—yang diaudit berkala dan diumumkan ke publik. Dengan dasar itu, ruang terbuka tetap ramah keluarga, sementara aktivitas ekonomi tertib dan terukur. Portal informasi resmi yang memuat peta zonasi, rencana event, dan laporan kinerja akan meminimalkan prasangka dan memperkuat partisipasi warga.
Pada akhirnya, keberhasilan skema bergantung pada keterbukaan dan akuntabilitas semua pihak. Pengelola wajib menyediakan jalur pengaduan 24/7, merespons keluhan cepat, dan transparan dalam penggunaan ruang. DPRD dapat mengawasi lewat rapat dengar pendapat berkala. Jika standar tersebut dipenuhi, tensi polemik Gurindam 12 akan mereda, kawasan tetap inklusif, dan nilai ekonomi bertambah tanpa mengurangi hak publik atas ruang bersama.