
Mak Yong Warisan Dunia menjadi sorotan di Tanjungpinang setelah Pemko menegaskan pentingnya pelestarian teater tradisional Budaya Melayu ini. Pejabat Pemko, Marzul, mengajak generasi muda terlibat aktif—dari menonton hingga menjadi pelaku seni—agar ekosistem seni pertunjukan tetap hidup dan relevan. Ajakan ini disampaikan pada pementasan yang dirancang bukan sekadar tontonan, melainkan ruang edukasi budaya.
Pemerintah daerah menekankan bahwa pengakuan internasional bukan akhir, melainkan awal tanggung jawab bersama. Selain panggung terbuka, program pendampingan komunitas disiapkan untuk melahirkan penari, pemusik, penata rias, hingga penulis naskah. Kurikulum muatan lokal dan kelas kreatif bagi pelajar direncanakan agar generasi baru akrab dengan nilai, bahasa, dan estetika Mak Yong. Sinergi ini diharapkan memperkuat identitas Melayu, menggerakkan ekonomi kreatif, serta menambah destinasi agenda seni tahunan di ibu kota Kepulauan Riau.
Peran Pemko, Panggung, dan Respons Publik
Pemetaan talenta dilakukan melalui kerja sama sanggar, sekolah, dan komunitas kreatif. Pemko memfasilitasi penggunaan ruang pertunjukan, pelatihan dasar, serta beasiswa untuk calon pelaku. Di sisi promosi, portal resmi dan kanal media sosial kota digunakan untuk mengabarkan jadwal pementasan, profil maestro, dan kisah di balik produksi. Penyelenggara juga menyiapkan tur edukasi singkat sebelum pertunjukan agar penonton memahami alur, karakter, serta simbol-simbol yang tampil di panggung. Dalam narasi ini, penegasan status Mak Yong Warisan Dunia menjadi alat kampanye budaya yang efektif—membangun rasa bangga sekaligus menarik kunjungan wisata.
Respons publik terbilang positif. Orang tua membawa anak mengenal seni tradisi; komunitas fotografi mendokumentasikan kostum dan rias; pelaku UMKM memanfaatkan keramaian untuk memasarkan produk lokal. Kolaborasi lintas sektor—pariwisata, pendidikan, dan ekonomi kreatif—menciptakan rantai nilai: tiket terjangkau, panggung tertib, serta penjadwalan rutin yang memberi kepastian bagi sanggar. Evaluasi pascaacara difokuskan pada keterisian kursi, survei kepuasan penonton, serta jumlah pendaftar pelatihan, sehingga kebijakan berbasis data dapat disusun untuk peningkatan program di periode berikutnya.
Baca juga : Disbudpar Susun Buku Sejarah Tanjungpinang
Strategi pelestarian menempatkan transfer pengetahuan sebagai prioritas. Maestro diminta mendokumentasikan gerak, dialog, serta musik pengiring dalam format video dan buku ringkas. Sekolah menengah dilibatkan melalui ekstrakurikuler, sementara perguruan tinggi dapat membuka studio riset yang mengkaji naskah, bahasa, dan sejarah pertunjukan. Skema festival pelajar memberi panggung bagi generasi baru, sedangkan mekanisme insentif memastikan sanggar memiliki sumber daya untuk produksi berkualitas. Dalam jangka menengah, penataan hak cipta dan lisensi rekaman penting agar karya terlindungi dan pelaku mendapatkan manfaat ekonominya.
Pemko menyiapkan dukungan promosi terpadu: kalender seni kota, kolaborasi dengan biro perjalanan, serta integrasi paket tur budaya. Kemitraan korporasi diarahkan pada program tanggung jawab sosial yang relevan—kostum, perangkat musik, dan peralatan pencahayaan. Untuk memperluas penonton, pertunjukan bilingual dan siaran digital dirancang tanpa menghilangkan esensi tradisi. Metrik keberhasilan meliputi jumlah produksi per tahun, regenerasi pelaku, dan pertumbuhan penonton. Dengan tata kelola yang konsisten, status pengakuan internasional menjadi pijakan, bukan tujuan akhir. Di sinilah pesan Marzul menemukan bentuknya: menjaga warisan berarti menciptakan kesempatan baru bagi seni, pendidikan, dan ekonomi kreatif Tanjungpinang—serta memastikan nilai-nilai budaya tetap hidup di masa depan.