
Perkara pemalsuan sertifikat tanah di Tanjungpinang memasuki babak baru setelah Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri melimpahkan berkas enam tersangka ke Pengadilan Negeri. Tahap ini menandai perpindahan dari penyidikan ke proses peradilan, dengan fokus penyusunan dakwaan, pemadanan barang bukti, dan penetapan jadwal sidang. Jaksa menyebut pelimpahan dilakukan setelah berkas dinyatakan lengkap secara formil dan materiil, termasuk verifikasi dokumen pertanahan serta keterangan saksi korban. Publik menantikan kejelasan peran masing-masing pihak, potensi kerugian, dan peluang pemulihan hak warga.
Redaksi merangkum fakta yang sudah dikonfirmasi, tanpa spekulasi, agar pembaca memperoleh gambaran menyeluruh tentang arah perkara, dari kronologi hingga pasal yang disangkakan. Penuntut umum juga menegaskan penghormatan asas praduga tak bersalah, sekaligus komitmen menghadirkan sidang yang tertib, transparan, dan akuntabel. JPU siap menghadirkan saksi ahli pertanahan, petugas ukur, dan pejabat pembuat akta tanah untuk menguji keaslian dokumen, alur penerbitan, serta dugaan peran perantara dalam pemasaran jasa pengurusan yang diduga menyesatkan warga di persidangan nanti. Terbuka.
Kronologi, Tersangka, dan Berkas
Pelimpahan dilakukan setelah penyidikan polisi dinyatakan lengkap dan berkas perkara diterima jaksa untuk disusun dakwaan. Keenam tersangka—Een Saputro, Robi, Jerry, Kenedi, Lani, dan Zul—diduga menawarkan jasa pengurusan tanah kepada warga, mengutip biaya administrasi, lalu menyerahkan dokumen yang tidak sah. Jaksa menyebut kerugian meluas karena sebagian korban mengira sertifikat itu dapat dipakai untuk transaksi atau pengajuan kredit. Setelah tahapan P-21 internal terpenuhi, penahanan dilanjutkan sesuai kebutuhan, sementara keluarga korban diminta menghadiri sidang untuk memberikan kesaksian. Proses ini diharapkan memberi kepastian hukum atas praktik yang mencederai kepercayaan publik terhadap layanan pertanahan.
Di pengadilan, jaksa akan menguraikan alur perekrutan korban, proses pembuatan berkas, dan penggunaan cap serta tanda tangan palsu. Untuk memperkuat pembuktian, penyidik menghadirkan ahli grafologi, ahli hukum agraria, serta petugas Badan Pertanahan Nasional yang memegang arsip. Rantai barang bukti dikawal ketat: surat kuasa, kuitansi, hingga peta bidang dibandingkan dengan data resmi untuk menunjukkan perbedaan. Istilah pemalsuan sertifikat tanah akan diuji melalui unsur niat, kerja sama, dan perbuatan yang menimbulkan kerugian. Jaksa juga menelusuri aliran dana antarrekening guna memetakan peran tiap orang dan membongkar pola perekrutan, sehingga praktik pemalsuan sertifikat tanah dapat dipotret utuh dan tidak berulang. Hakim akan mempertimbangkan kerugian nyata, jumlah korban, dan dampak sosial saat menilai pemberatan pidana terhadap para terdakwa.
Baca juga : Enam Tersangka Mafia Tanah Tanjungpinang Diserahkan Kejari
Di luar persidangan, pemerintah daerah dan BPN memperkuat layanan mitigasi sengketa: konsultasi gratis, loket pengecekan dokumen, dan sosialisasi prosedur balik nama. Warga diimbau melakukan pemeriksaan fisik dan yuridis sebelum transaksi, termasuk memastikan nomor bidang, kecocokan koordinat, serta status hak melalui aplikasi resmi. Notaris dan PPAT diminta disiplin melakukan verifikasi berlapis dan menolak berkas yang tidak memenuhi standar. Aparat mendorong pelaporan cepat bila menemukan calo atau agen yang menjanjikan pemrosesan instan, karena celah semacam ini kerap melahirkan praktik curang.
Ke depan, koordinasi jaksa, kepolisian, dan BPN akan menentukan pemulihan kerugian korban melalui restitusi maupun perdata. Putusan yang tegas diharapkan memberi efek jera dan menjadi rujukan bagi perkara serupa. Media massa berperan mengedukasi publik dengan narasi yang berimbang—menjaga privasi korban, namun tetap kritis terhadap modus yang merugikan negara dan warga. Dalam konteks itu, pemberitaan perkara pemalsuan sertifikat tanah tidak berhenti pada vonis; evaluasi tata kelola dan literasi masyarakat harus berlanjut. Redaksi merekomendasikan tiga langkah sederhana: cek dokumen di kantor pertanahan, gunakan jasa profesional beregister, dan hindari pembayaran tunai tanpa kuitansi resmi. Dengan upaya kolaboratif, ruang bagi pemalsuan sertifikat tanah menyempit, sementara hak kepemilikan warga makin terlindungi. Pengadilan pun diharapkan memprioritaskan jadwal sehingga kepastian hukum korban segera terwujud. Tanpa penundaan yang tidak perlu.