Deteksi Dini Tuberkulosis menjadi fokus utama Lapas Narkotika Kelas IIA Tanjungpinang melalui pelaksanaan program ACF X-Ray 2025 bagi warga binaan pemasyarakatan. Program ini hadir sebagai jawaban atas tingginya risiko penularan penyakit menular di lingkungan lapas yang padat dan terbatas ruang geraknya. Selama empat hari pelaksanaan, ratusan warga binaan dijadwalkan mengikuti skrining rontgen dada secara bergiliran agar proses berjalan tertib dan tetap menjaga keamanan. Upaya ini sekaligus menegaskan komitmen lapas bahwa hak atas layanan kesehatan layak tetap harus dipenuhi meski seseorang sedang menjalani masa pidana.
Kepala Lapas bersama jajaran menggandeng Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan, Puskesmas Kawal, Kanwil Kemenkumham Kepri, dan Tirta Medical Centre untuk memastikan kualitas pemeriksaan berjalan sesuai standar. Melalui kolaborasi tersebut, Deteksi Dini Tuberkulosis diharapkan tidak hanya menjadi kegiatan sesaat, tetapi terintegrasi dalam program kesehatan rutin pemasyarakatan. Ketersediaan tenaga medis profesional dan peralatan radiologi bergerak membuat proses skrining bisa dilakukan langsung di dalam lapas tanpa harus memindahkan warga binaan ke fasilitas luar yang berisiko mengganggu keamanan.
Pelaksanaan Skrining dan Kolaborasi Kesehatan di Lingkungan Lapas
Dalam praktiknya, petugas lebih dulu melakukan pendataan dan sosialisasi kepada warga binaan mengenai tujuan dan manfaat kegiatan, sehingga mereka memahami bahwa Deteksi Dini Tuberkulosis penting untuk melindungi diri sendiri dan orang di sekitarnya. Setelah itu, warga binaan diarahkan menuju lokasi pemeriksaan secara bergelombang untuk menjalani rontgen dada dengan perangkat X-Ray mobile yang disiapkan tim medis. Setiap hasil foto akan dianalisis dokter untuk mengidentifikasi adanya indikasi TB aktif maupun laten yang membutuhkan tindak lanjut lebih jauh. Dengan pola ini, proses skrining berlangsung cepat namun tetap terukur.
Puskesmas Kawal dan Dinas Kesehatan berperan sebagai mitra teknis yang memastikan standar prosedur penanggulangan TB diterapkan dengan benar. Jika dari hasil rontgen ditemukan kecurigaan kasus, petugas segera melakukan pemeriksaan lanjutan seperti uji dahak dan penilaian klinis sebelum memulai pengobatan sesuai panduan nasional. Deteksi Dini Tuberkulosis dalam program ini juga dipadukan dengan edukasi mengenai etika batuk, penggunaan masker, serta pentingnya tuntas berobat untuk mencegah resistensi obat. Kolaborasi lintas instansi tersebut menjadikan lapas sebagai bagian integral dari jejaring eliminasi TB di daerah, bukan ruang tertutup yang luput dari perhatian layanan kesehatan publik.
Baca juga : Ricuh Lapas Tanjungpinang Diduga Kalapas Pukul WBP
Bagi warga binaan, keberadaan program ini memberi rasa aman karena kondisi kesehatan mereka dipantau secara berkala, bukan hanya ketika sudah sakit berat. Mereka mendapatkan penjelasan bahwa Deteksi Dini Tuberkulosis memungkinkan pengobatan dimulai sedini mungkin sehingga peluang sembuh lebih besar dan risiko menularkan ke sesama penghuni blok dapat ditekan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip hak asasi manusia yang menyatakan bahwa setiap orang, termasuk narapidana, berhak atas derajat kesehatan setinggi-tingginya. Lapas pun dapat mengurangi potensi kejadian luar biasa penyakit menular yang berawal dari keterlambatan diagnosis.
Di level kebijakan, hasil program ACF X-Ray 2025 akan menjadi bahan evaluasi bagi Kemenkumham dan pemerintah daerah untuk memperkuat anggaran, sarana, serta sumber daya manusia di bidang kesehatan pemasyarakatan. Jika terbukti efektif menurunkan kasus, skema serupa bisa direplikasi di lapas lain di Kepulauan Riau maupun daerah lain di Indonesia. Deteksi Dini Tuberkulosis diproyeksikan menjadi salah satu pilar utama strategi eliminasi TB nasional di lingkungan berisiko tinggi seperti lembaga pemasyarakatan. Dengan konsistensi pelaksanaan dan dukungan semua pihak, lapas bukan lagi dipandang sebagai titik lemah penyebaran penyakit, melainkan mitra aktif dalam mewujudkan masyarakat yang lebih sehat.






